Tulusnya Para Penyebar Islam di Nusantara
A. Walisongo
Tokoh-tokoh Islam Indonesia terkemuka di Indonesia sangat banyak. Sejak pertama kali Islam datang di Nusantara, Allah telah melahirkan tokoh-tokoh besar, para ulama, cendekiawan, panglima perang, serta pemimpin yang berjasa bagi negeri ini. Mereka berjuang dengan segenap ilmu, tenaga dan kemampuannya untuk kemajuan Islam dan kemaslahatan ummat. Sangat banyak bila harus dituliskan satu persatu, karenanya, yang dicantumkan di halaman ini hanya sebagian kecil dari mereka.
1. Biografi Walisongo
Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang. Anggota walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah Subhaanahu wa ta’aala karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penjuru. Orang jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut keblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer.
Perkembangan Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dari peranan para Wali. Walisongo" berarti sembilan orang wali"
Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha
Dari silsilahnya Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Sekilas tentang para Walisongo, antara lain:
1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Aktifitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah-kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Giri
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernapasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
4. Sunan Ampel
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
5. Sunan Drajat
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog-pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
6. Sunan Muria
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman.
7. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
8. Sunan Kudus
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali -yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
9. Sunan Kalijaga
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja. Taman pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
2. Wayang Sebagai Simbol dan Media Dakwah
Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang, bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, doktrin keesaan Tuhan dalam Islam. Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.
Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon Islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menyebar luaskan Islam melalui bahasa-bahasa simbol, media, dan budaya merupakan salah satu bentuk perjuangan yang cukup efektif.
B. Persamaan Antara Abdur Rauf Singkel dengan Muhammad Arsyad al-Banjari
Tokoh-tokoh Islam Indonesia terkemuka di Indonesia sangat banyak. Sejak pertama kali Islam datang di Nusantara, Allah telah melahirkan tokoh-tokoh besar, para ulama, cendekiawan, panglima perang, serta pemimpin yang berjasa bagi negeri ini. Mereka berjuang dengan segenap ilmu, tenaga dan kemampuannya untuk kemajuan Islam dan kemaslahatan ummat. Sangat banyak bila harus dituliskan satu persatu, karenanya, yang dicantumkan di halaman ini hanya sebagian kecil dari mereka.
1. Abdur Rauf Singkel
a. Biografi
Singkel merupakan seorang ulama, penyair, budayawan, ulama besar, pengarang tafsir, ahli hukum, cendikiawan muslim dan seorang Sufi Melayu dari Fansur, Singkel, di wilayah pantai barat-laut Aceh. Nama lengkapnya Abd Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili. Tak ditemukan keterangan yang pasti tentang tahun kelahirannya. Hanya saja, mengikuti perhitungan mundur Rinkes, sebagaimana disinggung Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama, as-Sinkili lahir sekitar tahun 1024/1615. Oleh sejumlah besar sejarawan, tahun ini disepakati sebagai tahun kelahirannya.
Nenek moyang As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus) sebuah kota pelabuhan tua yang penting di Sumatera Barat. Sayang, latar belakang keluarga as-Sinkili tidak terekam secara jelas. Informasi yang cukup membantu disodorkan Peunoh Daly dalam Naskah Mi’ratut Thullab karya Abdurrauf Singkel adalah bahwa ayah as-Sinkili berasal dari Arab yang menikahi seorang wanita dari Fansur. Hal ini amat mungkin, sebab waktu itu Samudera Pasai dan Fansur kerap dikunjungi pedagang dari Cina, India, Yahudi, Persia, dan Arab.
1. Pendidikan
Pendidikan As-Sinkili di masa kecil ditangani oleh ayahnya-seorang alim yang mendirikan madrasah dengan murid-murid berasal dari pelbagai tempat di Kesultanan Aceh. Ia lantas pergi ke Banda Aceh untuk berguru kepada Syam ad-Din as-Samartrani. Pada tahun 1052/1642, as-Sinkili mengembara ke Tanah Haram untuk menambah pengetahuan agama sekaligus menunaikan ibadah haji.
Dalam perjalanannya, As-Sinkili singgah di beberapa tempat. Mulai dari Doha, Qatar, ia belajar kepada Abd al-Qadir al-Mawrir. Lalu ke Baitul Faqih, Yaman, berguru kepada ulama dari keluarga Jam’an seperti Ibrahim bin Muhammad bin Jam’an, Ibrahim bin Abdullah bin Jam’an, Qadi Ishaq bin Abdullah bin Jam’an.
Setelah dari Baitul Faqih, As-Sinkili ke Jeddah dan berguru kepada Abd al-Qadir al-Barkhali. Kemudian ia ke Mekkah dan belajar kepada Badr ad-Din al-Lahuri dan Abdullah al-Lahuri. Terakhir ke Madinah, berguru kepada Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Dalam pengembaraan ini, As-Sinkili memakan waktu kurang lebih selama 19 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, ia belajar agama kepada tak kurang dari 19 guru, 27 ulama masyhur, dan 15 tokoh mistik kenamaan. Dari sejumlah gurunya, tampaknya yang paling berpengaruh adalah Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Pada sekitar tahun 1584/1661 As-Sinkili kembali ke Aceh. Dalam waktu singkat kharisma As-Sinkili menguat dan mampu memagut simpati Sultanah Safiyyatuddin yang memerintah Kesultanan Aceh ketika itu, tahun 1645-1675). As-Sinkili kemudian diangkat sebagai Qâdi Mâlik al-‘Âdil atau mufti yang betanggung jawab atas masalah-masalah keagamaan. Hingga pada tahun 1693, ia wafat dan dikebumikan di samping makam Teungku Anjong yang dianggap paling keramat di Aceh.
2. Karya tulis
As-Sinkili merupakan ulama yang sangat produktif. Tidak kurang dari 30 kitab dari pelbagai disiplin ilmu telah dihasilkan. Karya tulisnya yang diketahui lebih kurang dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu-sastra, hukum, filsafat, dan tafsir, antara lain;
a. ‘Umdat al-Muhtajin ila suluki Maslak al-Mufridin; dengan terjemahannya sendiri; Pegangan bagi yang Berkehendak Menjalani Jalan Orang yang Menggunakan Dirinya. Dalam karya ini diterangkannya tentang tasawuf yang dikembangkannya itu. Dzikir dengan mengucap La Illah pada masa-masa tertentu merupakan pokok pangkal tarikat ini. Kitab tersebut terdiri atas tujuh faedah dan bab. Sesudah faedah yang ketujuh diberinya khatimah yang berisi silsilah. Di samping memberi penjelasan tentang ajaran Abdur-Rauf, silsilah ini juga memberikan gambaran di mana dengan cara apa para ulama dan para pengarang besar Melayu lainnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab ini pula ia menyebut telah berada selama 19 tahun di negeri Arab.
b. Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah li’l-Malik al-Wahab. Dalam kitab ini disebutkan bahwa ia mengarang atas perintah Sultanah Tajul-Alam Safyaituddin Syah. Isinya tentang ilmu fikih menurut mazhab Syafi’i. Ilmu mu’amalat yang tidak dibicarakan dalam Sirat al-Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniri, ditulis disini.
c. Kifayat al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Talibin. Dalam karya ini disebutkan, bahwa ia diperintahkan oleh Sultanah Tajul-Alam. Isi kitab ini tentang ilmu tasyawuf yang dikembangkan oleh Abdur-Rauf.
d. Mau’izat al-Badi’ atau al-Mawa’ith al-Badi’ah. Karya ini terdiri atas 50 pengajaran dan ditulis berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, ucapan para sahabat Nabi Muhammad saw serta ulama-ulama besar.
e. Tafsif al-Jalalain, Abdur-Rauf juga telah menterjemah sebagian teks dari Tafsir al-Jalalain, surah 1 sampai dengan 10.
f. Tarjuman al-Mustafiq, merupakan saduran dalam bahasa Melayu dari karya bahasa Arab.
g. Syair Ma’rifat, Syair ini terdapat dalam naskah Oph 78, perpustakaan Leiden, yang disalin pada 28 Januari 1859 di Bukit Tinggi.
Karya-karya tulis Abdurrauf Singkel diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Bidang fiqh
a. Mir’ah at-Tullâb fî Tashîl Ma’rifah al-Ahkâm asy-Syar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb,
b. Bayân al-Arkân, Bidâyah al-Bâligah, dan sebagainya.
2. Bidang tasawuf
a. ‘Umdah al-Muhtâjîn ilâ Sulûk Maslak al-Mufarridîn,
b. Daqâ’iq al-Hurûf,
c. Tanbîh al-Mâsyi al-Mansûb ilâ Tarîq al-Qusyasyi, dan sebagainya.
3. Bidang hadis
a. Syarh Latîf ‘ala ‘Arbain Hadîŝan lî al-Imâm an-Nawâwi
b. al-Mawâ’iz al-Badî’ah.
4. Bidang tafsir Al-Qur’an
a. Tarjumân al-Mustafîd bi al-Jâwwiyy.
Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, as-Sinkili memang bertekad untuk menulis tafsir terlengkap berbahasa Melayu. Sebelum Tarjumân al-Mustafîd memang telah ada sepenggal tafsir atas Surah al-Kahfi yang ditulis pada masa Hamzah al-Fansuri. Namun sayang, tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya.
Meski as-Sinkili tidak menorehkan angka tahun untuk penyelesaian Tarjumân al-Mustafîd, namun diyakini tafsir ini ditulis selama masa karirnya yang panjang di Aceh pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Tafsir ini tercatat sebagai tafsir paling awal yang ditulis secara lengkap. Karena itulah, sangat wajar jika tafsir ini beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan edisi cetaknya juga tersebar di komunitas Melayu di Afrika Selatan.
Hal lain yang tidak kalah penting, bahwa edisi cetaknya yang tidak hanya diterbitkan di Penang, Singapura, Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah. Di Istanbul, tafsir ini diterbitkan oleh Mathba’ah al-Utsmaniyyah pada 1302/1884. Kemudian tafsir ini juga diterbitkan di Kairo oleh Sulaiman al-Maragi, dan di Mekkah oleh al-Amiriyyah. Di Jakarta sendiri tafsir ini diterbitkan pada tahun 1981.
b. Peran Abdurrauf Singkel dalam mensyiarkan Islam di Indonesia
1. Menjadi pelajar yang gigih.
2. Menjadi ulama yang produktif dalam pelbagai disiplin ilmu.
3. Membuat karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu bidang ilmu-sastra, hukum, filsafat, dan tafsir.
c. Keteladanan yang dapat diambil dari Abdurrauf Singkel
Teladan yang dapat diambil dari antara lain:
1. Semangat tinggi dalam belajar (beliau menuntut ilmu sampai ke Tanah Haram).
2. Ulama yang sangat produktif. Sebagai buktinya 30 kitab telah dihasilkan dari pelbagai disiplin ilmu.
3. Ahli dalam berbagai disiplin ilmu sebagai buktinya adanya karya tulis lebih kurang dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu-sastra, hukum, filsafat, dan tafsir.
2. Muhammad Arsyad al-Banjari
a. Biografi
Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang lahir di Lok Gabang, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan, 17 Maret 1710 – meninggal 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun) adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi para pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.
1. Silsilah keturunan
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia merupakan keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
2. Riwayat masa kecil
Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, diceritakan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.
3. Pendidikan
Muhammad Arsyad al-Banjari lahir pada malam Kamis, pukul 3.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H/17 Mac 1710 M, wafat pada 6 Syawal 1227 H/3 Oktober 1812 M. Pendidikannya ketika kecil tidak begitu jelas, tetapi pendidikannya dilanjutkan ke Mekkah dan Madinah. Sangat populer bahwa beliau belajar di Mekkah sekitar 30 tahun dan di Madinah sekitar 5 tahun. Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut oleh hampir semua penulis ialah Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis, yang terakhir ini menjadi menantu beliau. Gurunya pula yang banyak disebut ialah Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Madani. Selama belajar di Mekkah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari tinggal di sebuah rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Rumah tersebut terletak di kampung Samiyah yang disebut juga dengan Barhat Banjar. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan kawan-kawannya selain belajar kepada ulama-ulama bangsa Arab, juga belajar kepada ulama-ulama yang berasal dari dunia Melayu. Di antara guru mereka yang berasal dari dunia Melayu ialah: Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani, dan masih banyak lagi.
4. Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut. Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannya hasrat hatinya itu kepada istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengabulkan niat suci suaminya dan mendukung dalam meraih cita-citanya. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu, di antara guru beliau adalah:
a. Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry,
b. al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi 3.
c. al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir merupakan guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannya Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penantiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya Martapura, pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi Sultan Tahlilullah yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan HW, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada saat itu memerintah Kesultanan Banjar, beliau sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktifitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.
5. Pengajaran dan bermasyarakat
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.
Di samping mendidik, beliau juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab pegangan pada waktu itu, tidak hnaya di seluruh Kerajaan Banjar tetapi sampai ke seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
6. Karya-karyanya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya:
a. Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Dua puluh,
b. Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
c. Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
d. Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Sudah menjadi tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di Mekkah, mereka juga menulis kitab di Mekkah. Lain halnya dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercaya mengajar di Mekkah, namun karya yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Beliau nampaknya lebih mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah olah tanggungjawab rakyat Banjar berada dipundaknya. Ketika pulang ke Banjar, beliau sangat sibuk mengajar dan menyusun segala macam bidang yang bersangkut paut dengan dakwah, pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat menghasilkan beberapa karya. Karya-karyanya antara lain:
a. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu'minin wa ma Yufsiduhu Riddah ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M
b. Luqtah al-'Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M.
c. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M
d. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiulawal 1196 H/1781M.
e. Kitab Bab an-Nikah.
f. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
g. Kanzu al-Ma'rifah
h. Ushul ad-Din
i. Kitab al-Faraid
j. Hasyiyah Fat-h al-Wahhab
k. Mushhaf al-Quran al-Karim
l. Fath ar-Rahman
m. Arkanu Ta'lim as-Shibyan
n. Bulugh al-Maram
o. Fi Bayani Qadha' wa al-Qadar wa al-Waba'
p. Tuhfah al-Ahbab
q. Khuthbah Muthlaqah
Adapun karya Syeikh Muhammad Arsyad yang pertama, yaitu Tuhfah ar-Raghibin.
b. Peran Muhammad Arsyad al-Banjari dalam perkembangan Islam di Indonesia
Di antara peran Muhammad Arsyad al-Banjari:
1. Sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu sampai ke Mekkah dan Madinah
2. Sebagai pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.
3. Mensyiarkan Islam sampai ke Asia Tenggara.
c. Keteladanan yang dapat diambil dari Muhammad Arsyad al-Banjari
Teladan yang dapat diambil dari Muhammad Arsyad al-Banjari antara lain :
1. Semangat tinggi dalam menuntut ilmu.
2. Rajin dalam menulis buku
3. Mensyiarkan Islam sampai ke Asia Tenggara.
C. Persamaan Antara Kh. Ahmad Dahlan dan Kh. Hasyim Asyári
Tokoh-tokoh Islam Indonesia terkemuka di Indonesia sangat banyak. Sejak pertama kali Islam datang di Nusantara, Allah telah melahirkan tokoh-tokoh besar, para ulama, cendekiawan, panglima perang, serta pemimpin yang berjasa bagi negeri ini. Mereka berjuang dengan segenap ilmu, tenaga dan kemampuannya untuk kemajuan Islam dan kemaslahatan ummat. Sangat banyak bila harus dituliskan satu persatu, karenanya, yang dicantumkan di halaman ini hanya sebagian kecil dari mereka.
1. KH. Ahmad Dahlan
a. Biografi
KH. Ahmad Dahlan, lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 dan wafat di Yogyakarta, 23 Februari 1923 adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
1. Latar belakang keluarga dan pendidikan
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9) dan Beliau dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.
2. Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan Aktifitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam Aktifitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
3. Menjadi Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu sebagai berikut:
a. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
b. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
c. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
d. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
b. Peran KH. A. Dahlan dalam perkembangan Islam di Indonesia
Tahun 1912 Mendirikan organisasi Muhammadiyah
Mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
Memiliki gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota.
Tahun 1912 Mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Tahun 1921 Mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
c. Sekilas tentang Muhammadiyah
Desa Kauman, dari kampung kecil di Yogyakarta inilah, Muhammadiyah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dengan membawa al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Muhammadiyah, begitu orang kebanyakan menyebut, merupakan sebuah gerakan social-agama yang mampu membumikan makna Islam pada tataran kultural, rasional dan dinamis. Amal usaha nya telah banyak terlihat sebagai bukti adanya organisasi Muhammadiyah. Masjid, Rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, panti asuhan, panti jompo dan berbagai amal usaha yang lain merupakan ciri keberadaan Muhammadiyah yang bergerak dinamis tiada henti.
d. Keteladanan yang dapat diambil dari KH. A. Dahlan
Teladan yang dapat diambil dari KH Hasyim Asyari antara lain :
1. Semangat tinggi dalam belajar (beliau menuntut ilmu sampai ke Mekkah).
2. Semangat tinggi dalam menghadapi berbagai rintangan dihadapinya dengan sabar, keteguhan hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air.
3. Menjadi pelopor kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. KH. Hasyim Asy'ari
a. Biografi
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'ari (bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau Ashari) (10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)-25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
1. Silsilah Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Berikut silsilah lengkapnya:
1. Raden Cahaya 1. Raden Amangkurat Jawi
2. Brawijaya II
2. Sunan Amangkurat I
3. Brawijaya III
3. Haji Ali Tingkir
4. Kyai Mangunkiras 4. Fatasillah Tingkir
5. Bhre Kertabhumi
5. Hamengkubuwono I
6. Bhre Mangundjoko 17. Hamengkubuwono II
7. Haji Ali Namung 18. Patih Tegalrejo
8. Lembu Amisani 19. Kyai Asy'ari
9. Jaka Tingkir
20. Hasyim Asy'ari
10. Jaka Posobillah 21. KH.Wahid Hasyim
11. Mangunkiras Tingkir 22. KH.Abdurrahman Wahid
2. Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi.
3. Perjuangan
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kemudian menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.Pemahaman kita tentang NU akan lebih tepat jika kita sekilas memahami apa itu NU dan Sejarah NU.
b. Peran KH Hasyim Asyari dalam perkembangan Islam di Indonesia
Tahun 1899
Mendirikan Pesantren Tebu Ireng
Tahun 1926
Menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama
c. Sekilas tentang Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha Organisasi
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
D. Keteladanan yang dapat diambil dari KH. Hasyim Asyari
Teladan yang dapat diambil dari KH Hasyim Asyari antara lain :
a. Semangat tinggi dalam menuntut ilmu (beliau belajar sampai ke Mekkah).
b. Mensyiarkan Islam melalui pendidikan di pesantren.
c. Memprakarsai berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Tokoh-tokoh Islam Indonesia terkemuka di Indonesia sangat banyak. Sejak pertama kali Islam datang di Nusantara, Allah telah melahirkan tokoh-tokoh besar, para ulama, cendekiawan, panglima perang, serta pemimpin yang berjasa bagi negeri ini. Mereka berjuang dengan segenap ilmu, tenaga dan kemampuannya untuk kemajuan Islam dan kemaslahatan ummat. Sangat banyak bila harus dituliskan satu persatu, karenanya, yang dicantumkan di halaman ini hanya sebagian kecil dari mereka.
1. Biografi Walisongo
Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang. Anggota walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah Subhaanahu wa ta’aala karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penjuru. Orang jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut keblat papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer.
Perkembangan Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dari peranan para Wali. Walisongo" berarti sembilan orang wali"
Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha
Dari silsilahnya Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Sekilas tentang para Walisongo, antara lain:
1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Aktifitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah-kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Giri
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernapasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
4. Sunan Ampel
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
5. Sunan Drajat
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog-pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
6. Sunan Muria
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman.
7. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
8. Sunan Kudus
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali -yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
9. Sunan Kalijaga
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja. Taman pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
2. Wayang Sebagai Simbol dan Media Dakwah
Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang, bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, doktrin keesaan Tuhan dalam Islam. Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.
Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon Islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menyebar luaskan Islam melalui bahasa-bahasa simbol, media, dan budaya merupakan salah satu bentuk perjuangan yang cukup efektif.
B. Persamaan Antara Abdur Rauf Singkel dengan Muhammad Arsyad al-Banjari
Tokoh-tokoh Islam Indonesia terkemuka di Indonesia sangat banyak. Sejak pertama kali Islam datang di Nusantara, Allah telah melahirkan tokoh-tokoh besar, para ulama, cendekiawan, panglima perang, serta pemimpin yang berjasa bagi negeri ini. Mereka berjuang dengan segenap ilmu, tenaga dan kemampuannya untuk kemajuan Islam dan kemaslahatan ummat. Sangat banyak bila harus dituliskan satu persatu, karenanya, yang dicantumkan di halaman ini hanya sebagian kecil dari mereka.
1. Abdur Rauf Singkel
a. Biografi
Singkel merupakan seorang ulama, penyair, budayawan, ulama besar, pengarang tafsir, ahli hukum, cendikiawan muslim dan seorang Sufi Melayu dari Fansur, Singkel, di wilayah pantai barat-laut Aceh. Nama lengkapnya Abd Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili. Tak ditemukan keterangan yang pasti tentang tahun kelahirannya. Hanya saja, mengikuti perhitungan mundur Rinkes, sebagaimana disinggung Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama, as-Sinkili lahir sekitar tahun 1024/1615. Oleh sejumlah besar sejarawan, tahun ini disepakati sebagai tahun kelahirannya.
Nenek moyang As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus) sebuah kota pelabuhan tua yang penting di Sumatera Barat. Sayang, latar belakang keluarga as-Sinkili tidak terekam secara jelas. Informasi yang cukup membantu disodorkan Peunoh Daly dalam Naskah Mi’ratut Thullab karya Abdurrauf Singkel adalah bahwa ayah as-Sinkili berasal dari Arab yang menikahi seorang wanita dari Fansur. Hal ini amat mungkin, sebab waktu itu Samudera Pasai dan Fansur kerap dikunjungi pedagang dari Cina, India, Yahudi, Persia, dan Arab.
1. Pendidikan
Pendidikan As-Sinkili di masa kecil ditangani oleh ayahnya-seorang alim yang mendirikan madrasah dengan murid-murid berasal dari pelbagai tempat di Kesultanan Aceh. Ia lantas pergi ke Banda Aceh untuk berguru kepada Syam ad-Din as-Samartrani. Pada tahun 1052/1642, as-Sinkili mengembara ke Tanah Haram untuk menambah pengetahuan agama sekaligus menunaikan ibadah haji.
Dalam perjalanannya, As-Sinkili singgah di beberapa tempat. Mulai dari Doha, Qatar, ia belajar kepada Abd al-Qadir al-Mawrir. Lalu ke Baitul Faqih, Yaman, berguru kepada ulama dari keluarga Jam’an seperti Ibrahim bin Muhammad bin Jam’an, Ibrahim bin Abdullah bin Jam’an, Qadi Ishaq bin Abdullah bin Jam’an.
Setelah dari Baitul Faqih, As-Sinkili ke Jeddah dan berguru kepada Abd al-Qadir al-Barkhali. Kemudian ia ke Mekkah dan belajar kepada Badr ad-Din al-Lahuri dan Abdullah al-Lahuri. Terakhir ke Madinah, berguru kepada Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Dalam pengembaraan ini, As-Sinkili memakan waktu kurang lebih selama 19 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, ia belajar agama kepada tak kurang dari 19 guru, 27 ulama masyhur, dan 15 tokoh mistik kenamaan. Dari sejumlah gurunya, tampaknya yang paling berpengaruh adalah Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Pada sekitar tahun 1584/1661 As-Sinkili kembali ke Aceh. Dalam waktu singkat kharisma As-Sinkili menguat dan mampu memagut simpati Sultanah Safiyyatuddin yang memerintah Kesultanan Aceh ketika itu, tahun 1645-1675). As-Sinkili kemudian diangkat sebagai Qâdi Mâlik al-‘Âdil atau mufti yang betanggung jawab atas masalah-masalah keagamaan. Hingga pada tahun 1693, ia wafat dan dikebumikan di samping makam Teungku Anjong yang dianggap paling keramat di Aceh.
2. Karya tulis
As-Sinkili merupakan ulama yang sangat produktif. Tidak kurang dari 30 kitab dari pelbagai disiplin ilmu telah dihasilkan. Karya tulisnya yang diketahui lebih kurang dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu-sastra, hukum, filsafat, dan tafsir, antara lain;
a. ‘Umdat al-Muhtajin ila suluki Maslak al-Mufridin; dengan terjemahannya sendiri; Pegangan bagi yang Berkehendak Menjalani Jalan Orang yang Menggunakan Dirinya. Dalam karya ini diterangkannya tentang tasawuf yang dikembangkannya itu. Dzikir dengan mengucap La Illah pada masa-masa tertentu merupakan pokok pangkal tarikat ini. Kitab tersebut terdiri atas tujuh faedah dan bab. Sesudah faedah yang ketujuh diberinya khatimah yang berisi silsilah. Di samping memberi penjelasan tentang ajaran Abdur-Rauf, silsilah ini juga memberikan gambaran di mana dengan cara apa para ulama dan para pengarang besar Melayu lainnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab ini pula ia menyebut telah berada selama 19 tahun di negeri Arab.
b. Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah li’l-Malik al-Wahab. Dalam kitab ini disebutkan bahwa ia mengarang atas perintah Sultanah Tajul-Alam Safyaituddin Syah. Isinya tentang ilmu fikih menurut mazhab Syafi’i. Ilmu mu’amalat yang tidak dibicarakan dalam Sirat al-Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniri, ditulis disini.
c. Kifayat al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Talibin. Dalam karya ini disebutkan, bahwa ia diperintahkan oleh Sultanah Tajul-Alam. Isi kitab ini tentang ilmu tasyawuf yang dikembangkan oleh Abdur-Rauf.
d. Mau’izat al-Badi’ atau al-Mawa’ith al-Badi’ah. Karya ini terdiri atas 50 pengajaran dan ditulis berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, ucapan para sahabat Nabi Muhammad saw serta ulama-ulama besar.
e. Tafsif al-Jalalain, Abdur-Rauf juga telah menterjemah sebagian teks dari Tafsir al-Jalalain, surah 1 sampai dengan 10.
f. Tarjuman al-Mustafiq, merupakan saduran dalam bahasa Melayu dari karya bahasa Arab.
g. Syair Ma’rifat, Syair ini terdapat dalam naskah Oph 78, perpustakaan Leiden, yang disalin pada 28 Januari 1859 di Bukit Tinggi.
Karya-karya tulis Abdurrauf Singkel diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Bidang fiqh
a. Mir’ah at-Tullâb fî Tashîl Ma’rifah al-Ahkâm asy-Syar’iyyah li al-Mâlik al-Wahhâb,
b. Bayân al-Arkân, Bidâyah al-Bâligah, dan sebagainya.
2. Bidang tasawuf
a. ‘Umdah al-Muhtâjîn ilâ Sulûk Maslak al-Mufarridîn,
b. Daqâ’iq al-Hurûf,
c. Tanbîh al-Mâsyi al-Mansûb ilâ Tarîq al-Qusyasyi, dan sebagainya.
3. Bidang hadis
a. Syarh Latîf ‘ala ‘Arbain Hadîŝan lî al-Imâm an-Nawâwi
b. al-Mawâ’iz al-Badî’ah.
4. Bidang tafsir Al-Qur’an
a. Tarjumân al-Mustafîd bi al-Jâwwiyy.
Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, as-Sinkili memang bertekad untuk menulis tafsir terlengkap berbahasa Melayu. Sebelum Tarjumân al-Mustafîd memang telah ada sepenggal tafsir atas Surah al-Kahfi yang ditulis pada masa Hamzah al-Fansuri. Namun sayang, tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya.
Meski as-Sinkili tidak menorehkan angka tahun untuk penyelesaian Tarjumân al-Mustafîd, namun diyakini tafsir ini ditulis selama masa karirnya yang panjang di Aceh pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Tafsir ini tercatat sebagai tafsir paling awal yang ditulis secara lengkap. Karena itulah, sangat wajar jika tafsir ini beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan edisi cetaknya juga tersebar di komunitas Melayu di Afrika Selatan.
Hal lain yang tidak kalah penting, bahwa edisi cetaknya yang tidak hanya diterbitkan di Penang, Singapura, Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah. Di Istanbul, tafsir ini diterbitkan oleh Mathba’ah al-Utsmaniyyah pada 1302/1884. Kemudian tafsir ini juga diterbitkan di Kairo oleh Sulaiman al-Maragi, dan di Mekkah oleh al-Amiriyyah. Di Jakarta sendiri tafsir ini diterbitkan pada tahun 1981.
b. Peran Abdurrauf Singkel dalam mensyiarkan Islam di Indonesia
1. Menjadi pelajar yang gigih.
2. Menjadi ulama yang produktif dalam pelbagai disiplin ilmu.
3. Membuat karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu bidang ilmu-sastra, hukum, filsafat, dan tafsir.
c. Keteladanan yang dapat diambil dari Abdurrauf Singkel
Teladan yang dapat diambil dari antara lain:
1. Semangat tinggi dalam belajar (beliau menuntut ilmu sampai ke Tanah Haram).
2. Ulama yang sangat produktif. Sebagai buktinya 30 kitab telah dihasilkan dari pelbagai disiplin ilmu.
3. Ahli dalam berbagai disiplin ilmu sebagai buktinya adanya karya tulis lebih kurang dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu-sastra, hukum, filsafat, dan tafsir.
2. Muhammad Arsyad al-Banjari
a. Biografi
Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang lahir di Lok Gabang, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan, 17 Maret 1710 – meninggal 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun) adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi para pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.
1. Silsilah keturunan
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia merupakan keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
2. Riwayat masa kecil
Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, diceritakan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.
3. Pendidikan
Muhammad Arsyad al-Banjari lahir pada malam Kamis, pukul 3.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H/17 Mac 1710 M, wafat pada 6 Syawal 1227 H/3 Oktober 1812 M. Pendidikannya ketika kecil tidak begitu jelas, tetapi pendidikannya dilanjutkan ke Mekkah dan Madinah. Sangat populer bahwa beliau belajar di Mekkah sekitar 30 tahun dan di Madinah sekitar 5 tahun. Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut oleh hampir semua penulis ialah Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis, yang terakhir ini menjadi menantu beliau. Gurunya pula yang banyak disebut ialah Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Madani. Selama belajar di Mekkah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari tinggal di sebuah rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Rumah tersebut terletak di kampung Samiyah yang disebut juga dengan Barhat Banjar. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan kawan-kawannya selain belajar kepada ulama-ulama bangsa Arab, juga belajar kepada ulama-ulama yang berasal dari dunia Melayu. Di antara guru mereka yang berasal dari dunia Melayu ialah: Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani, dan masih banyak lagi.
4. Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut. Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannya hasrat hatinya itu kepada istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengabulkan niat suci suaminya dan mendukung dalam meraih cita-citanya. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu, di antara guru beliau adalah:
a. Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry,
b. al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi 3.
c. al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir merupakan guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannya Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penantiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya Martapura, pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi Sultan Tahlilullah yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan HW, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada saat itu memerintah Kesultanan Banjar, beliau sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktifitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.
5. Pengajaran dan bermasyarakat
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.
Di samping mendidik, beliau juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab pegangan pada waktu itu, tidak hnaya di seluruh Kerajaan Banjar tetapi sampai ke seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
6. Karya-karyanya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya:
a. Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Dua puluh,
b. Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
c. Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
d. Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Sudah menjadi tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di Mekkah, mereka juga menulis kitab di Mekkah. Lain halnya dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercaya mengajar di Mekkah, namun karya yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Beliau nampaknya lebih mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah olah tanggungjawab rakyat Banjar berada dipundaknya. Ketika pulang ke Banjar, beliau sangat sibuk mengajar dan menyusun segala macam bidang yang bersangkut paut dengan dakwah, pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat menghasilkan beberapa karya. Karya-karyanya antara lain:
a. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu'minin wa ma Yufsiduhu Riddah ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M
b. Luqtah al-'Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M.
c. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M
d. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiulawal 1196 H/1781M.
e. Kitab Bab an-Nikah.
f. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
g. Kanzu al-Ma'rifah
h. Ushul ad-Din
i. Kitab al-Faraid
j. Hasyiyah Fat-h al-Wahhab
k. Mushhaf al-Quran al-Karim
l. Fath ar-Rahman
m. Arkanu Ta'lim as-Shibyan
n. Bulugh al-Maram
o. Fi Bayani Qadha' wa al-Qadar wa al-Waba'
p. Tuhfah al-Ahbab
q. Khuthbah Muthlaqah
Adapun karya Syeikh Muhammad Arsyad yang pertama, yaitu Tuhfah ar-Raghibin.
b. Peran Muhammad Arsyad al-Banjari dalam perkembangan Islam di Indonesia
Di antara peran Muhammad Arsyad al-Banjari:
1. Sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu sampai ke Mekkah dan Madinah
2. Sebagai pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.
3. Mensyiarkan Islam sampai ke Asia Tenggara.
c. Keteladanan yang dapat diambil dari Muhammad Arsyad al-Banjari
Teladan yang dapat diambil dari Muhammad Arsyad al-Banjari antara lain :
1. Semangat tinggi dalam menuntut ilmu.
2. Rajin dalam menulis buku
3. Mensyiarkan Islam sampai ke Asia Tenggara.
C. Persamaan Antara Kh. Ahmad Dahlan dan Kh. Hasyim Asyári
Tokoh-tokoh Islam Indonesia terkemuka di Indonesia sangat banyak. Sejak pertama kali Islam datang di Nusantara, Allah telah melahirkan tokoh-tokoh besar, para ulama, cendekiawan, panglima perang, serta pemimpin yang berjasa bagi negeri ini. Mereka berjuang dengan segenap ilmu, tenaga dan kemampuannya untuk kemajuan Islam dan kemaslahatan ummat. Sangat banyak bila harus dituliskan satu persatu, karenanya, yang dicantumkan di halaman ini hanya sebagian kecil dari mereka.
1. KH. Ahmad Dahlan
a. Biografi
KH. Ahmad Dahlan, lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 dan wafat di Yogyakarta, 23 Februari 1923 adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
1. Latar belakang keluarga dan pendidikan
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9) dan Beliau dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.
2. Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan Aktifitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam Aktifitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
3. Menjadi Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu sebagai berikut:
a. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
b. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
c. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
d. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
b. Peran KH. A. Dahlan dalam perkembangan Islam di Indonesia
Tahun 1912 Mendirikan organisasi Muhammadiyah
Mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
Memiliki gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota.
Tahun 1912 Mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Tahun 1921 Mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
c. Sekilas tentang Muhammadiyah
Desa Kauman, dari kampung kecil di Yogyakarta inilah, Muhammadiyah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dengan membawa al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Muhammadiyah, begitu orang kebanyakan menyebut, merupakan sebuah gerakan social-agama yang mampu membumikan makna Islam pada tataran kultural, rasional dan dinamis. Amal usaha nya telah banyak terlihat sebagai bukti adanya organisasi Muhammadiyah. Masjid, Rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, panti asuhan, panti jompo dan berbagai amal usaha yang lain merupakan ciri keberadaan Muhammadiyah yang bergerak dinamis tiada henti.
d. Keteladanan yang dapat diambil dari KH. A. Dahlan
Teladan yang dapat diambil dari KH Hasyim Asyari antara lain :
1. Semangat tinggi dalam belajar (beliau menuntut ilmu sampai ke Mekkah).
2. Semangat tinggi dalam menghadapi berbagai rintangan dihadapinya dengan sabar, keteguhan hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air.
3. Menjadi pelopor kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. KH. Hasyim Asy'ari
a. Biografi
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'ari (bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau Ashari) (10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)-25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
1. Silsilah Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Berikut silsilah lengkapnya:
1. Raden Cahaya 1. Raden Amangkurat Jawi
2. Brawijaya II
2. Sunan Amangkurat I
3. Brawijaya III
3. Haji Ali Tingkir
4. Kyai Mangunkiras 4. Fatasillah Tingkir
5. Bhre Kertabhumi
5. Hamengkubuwono I
6. Bhre Mangundjoko 17. Hamengkubuwono II
7. Haji Ali Namung 18. Patih Tegalrejo
8. Lembu Amisani 19. Kyai Asy'ari
9. Jaka Tingkir
20. Hasyim Asy'ari
10. Jaka Posobillah 21. KH.Wahid Hasyim
11. Mangunkiras Tingkir 22. KH.Abdurrahman Wahid
2. Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi.
3. Perjuangan
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kemudian menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.Pemahaman kita tentang NU akan lebih tepat jika kita sekilas memahami apa itu NU dan Sejarah NU.
b. Peran KH Hasyim Asyari dalam perkembangan Islam di Indonesia
Tahun 1899
Mendirikan Pesantren Tebu Ireng
Tahun 1926
Menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama
c. Sekilas tentang Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha Organisasi
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
D. Keteladanan yang dapat diambil dari KH. Hasyim Asyari
Teladan yang dapat diambil dari KH Hasyim Asyari antara lain :
a. Semangat tinggi dalam menuntut ilmu (beliau belajar sampai ke Mekkah).
b. Mensyiarkan Islam melalui pendidikan di pesantren.
c. Memprakarsai berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Comments
Post a Comment