KEGEMILANGAN PERADABAN DIN ASTI AYYUBIAH

A. Kemajuan Pendidikan dan Kebudayaan Masa Ayyubiah
1. Pendidikan
Pemerintahan dinasti Ayyubiyah terutama pada masa kekuasaan Nuruddin dan Shalahuddin telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan.  Damaskus, ibu kota Suriah, masih menyimpan bukti yang menunjukkan jejak arsitektur dan pendidikan yang dikembangkan kedua penguasa tersebut. Nuruddin tidak hanya merenovasi dinding-dinding pertahanan kota, menambahkan beberapa pintu gerbang dan menara, serta membangun gedung-gedung pemerintahan yang masih bisa digunakan hingga kini, tetapi  juga mendirikan  madrasah sebagai sekolah pertama di Damaskus yang difokuskan untuk pengembangan ilmu hadist.  Madrasah ini terus berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok Suriah.
Madrasah yang dibangun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masjid atau sebagai sekolah masjid. Lembaga pendidikan ini secara formal menerima murid-murid dan mengikuti model madrasah yang dikembangkan pada masa Nizhamiyah.  Madrasah yang didirikan Nuruddin di Aleppo (Halb), Emessa, Hamah dan Ba’labak mengikuti madzhab Syafi’i.
 Nuruddin juga membangun rumah sakit yang terkenal dengan memakai namanya,yaitu Rumah sakit al-Nuri. Rumah Sakit Al-Nuri ini, menjadi rumah sakit kedua di Damaskus setelah rumah sakit al-walid dan ditambah fungsinya tidak hanya sebagai tempat pengobatan, juga sebagai sekolah kedokteran.
Pada  bangunan monumen-monumen, Nuruddin menorehkan seni  menulis indah. Prasasti-prasasti  yang ditulisnya menjadi daya tarik  para ahli paleografi (ilmu tulisan kuno) Arab. Sejak saat itu diperkirakan seni kaligrafi (khat) Arab gaya Kufi  muncul dan berkembang. Kaligrafi gaya Kufi kemudian diperbaharui dan melahirkan gaya kaligrafi Naskhi.
Salah satu prasasti yang sampai saat ini masih bisa dilihat dan dibaca terdapat di menara benteng Aleppo. Disebutkan dalam catatan orang Suriah dan Hittiyah, benteng pertahanan tersebut merupakan mahakarya arsitektural Arab kuno dan terus ada berkat jasa pemeliharaan dan renovasi Nuruddin. Di samping itu,  makam Nuruddin, yang terletak di akademi Damaskus Al-Nuriyah, hingga kini masih dihormati dan diziarahi.
Pengembangan masjid sebagai lembaga pendidikan atau sekolah masjid, juga sebagai mausoleum  menunjukkan pada masa Nuruddin terbangun konsep multifungsi yang berhubungan dengan masjid di Suriah. Bahkan pada pemerintahan selanjutnya, setelah Dinasti Ayyubiah, yaitu  masa pemerintahan Mamluk, melahirkan satu tradisi baru, yaitu menguburkan para pendiri sekolah masjid di bawah kubah bangunan yang mereka dirikan. 
Selanjutnya, Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi juga mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan dan aristektur.  Ia memperkenalkan pendidikan Madrasah ke berbagai wilayah di bawah kekuasaannya, seperti ke Yerusalem, Mesir dan lain-lain.  Ibnu Jubayr menyebutkan ada beberapa juga madrasah di kota Iskandariah.  Di antara madrasah terkemuka dan terbesar berada di Kairo dan memakai namanya sendiri, yaitu Madrasah al-Shalahiyah. Menurut sejarah Islam, jika Nizam al-Mulk adalah orang  yang mula-mula mendirikan madrasah, yaitu Madarasah Nizhamiyah, maka setelah Madrasah Nizamiah ini, madrasah terbesar adalah yang didirikan oleh Shalahuddin al- Ayyubi.
Sekarang, madrasah-madrasah tersebut tidak bisa ditemukan lagi, namun sisa-sisa arsitekturalnya masih bisa dilihat.  Pada tahun-tahun berikutnya, gaya arsitektur ini melahirkan beberapa monument Arab yang indah di Mesir. Salah satunya yang terindah dan menjadi model terbaik adalah Madrasah Sultan Hasan di Kairo.
Di samping mendirikan sejumlah  madrasah, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi juga membangun dua rumah sakit di Kairo. Bangunan kedua rumah sakit itu  dirancang mengikuti model rumah sakit Nuriyah di Damaskus, yakni selain sebagai tempat pengobatan, sekaligus sebagai sekolah kedokteran. Salah seorang dokter terkenal yang juga menjadi dokter pribadi Shalahuddin adalah Ibnu Maymun, beragama Yahudi.
Pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi,  mulai dikenal  perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang  dikenal dengan  Maulud  Nabi di Indonesia.

2. Bidang ekonomi dan perdagangan
Dalam hal perekonomian pemerintahan  Dinasti Ayyubiah bekerja sama dengan penguasa muslim di wilayah lain, membangun perdagangan dengan kota-kota di laut Tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistim perpajakan. Hubungan internasional dalam perdagangan baik jalur laut maupun jalur darat semakin ramai  dan membawa pengaruh bagi negara Eropa dan negara-negara yang dikuasainya. Sejak saat itu dunia ekonomi dan perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank  termasuk Letter of Credit, bahkan ketika itu sudah ada mata uang yang terbuat dari emas.
Selain itu, dimulai percetakan mata uang dirham campuran (fulus). Percetakan fulus yang merupakan mata uang dari tembaga dimulai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Al- Kamil ibn Al Adil Al- Ayyubi, percetakan unag fulus tersebut dimaksudkan sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan denga rasio 48 fulus untuk setiap dirhamnya.
Dalam bidang industri pada masa Ayyubiah, sudah mengenal kemajuan di bidang industri dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Juga sudah ada pabrik karpet, pabrik kain dan pabrik gelas.

3. Militer dan Sistem Pertahanan
Pada masa pemerintahan Shalahuddin, kekuatan militernya terkenal sangat tangguh. Pasukannya diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki dan Afrika. Selain juga memiliki alat-alat perang, pasukan berkuda,  pedang dan panah dinasti ini juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan.  Shalahuddin juga membuat bangunan monumental  berupa tembok kota di Kairo dan Muqattam yaitu benteng Qal’al Jabal Sultan Salahuddin al-Ayubi atau lebih dikenal dengan sebutan benteng Salahuddin Al-Ayubi, yang sampai hari ini masih berdiri dengan megahnya.
Benteng ini terletak bersebelahan Bukit Muqattam dan berhampiran dengan Medan Saiyyidah Aisyah. Ide membuat benteng ini hasil pemikirannya sendiri yang direalisasikan  pada tahun 1183M.  Shalahuddin melihat bahwa Kota Kaherah begitu luas dan besar, dan membutuhkan  sistem pertahanan  benteng yang kokoh sebagaimana di Halab dan Syria.
Salahuddin  Al-Ayubi menyuruh bahan batu yang digunakan untuk membangun pondasi benteng tersebut  diambil  dari batu-batu yang terdapat di Piramid di Giza. Benteng ini dikelilingi pagar yang tinggi  dan kokoh.
Untuk memasuki benteng, terdapat beberapa pintu utama diantaranya pintu Fath, pintu Nasr, pintu Khalk dan pintu Luq. Kemudian terdapat saluan air berasal dari sungai Nil, yang pada masa itu menjadi bekal minum para tentara. Pada zaman kerajaan Usmaniyyah benteng ini mengalami perluasan. Di bahagian utara benteng  terletak Masjid Mohammad Ali Pasha yang terbuat dari marmar dan granit.
Terdapat juga di dalam kawasan benteng ini Muzium Polis, Qasrul Jawhara (Muzium Permata) yang menyimpan perhiasan raja-raja Mesir. Terdapat juga Mathaf al-Fan al-Islami (Muzium Kesenian Islam) yang terletak di bab (pintu) Khalk yang menyimpan  ribuan barang yang melambangkan kesenian Islam semenjak zaman Nabi Muhammad  SAW, termasuk  diantaranya surat Rasulullah SAW  untuk penguasa Mesir saat itu bernama Maqauqis, agar beriman kepada Allah SWT.

B. Sejarah dan perkembangan Al-Azhar
Al-Azhar didirikan oleh seorang panglima Dinasti Fathimiyah, Jauhar Al-Katib Al-Siqli pada tahun 970 M, atas perintah Khalifah Al-Muiz Lidinillah, sebagai tempat ibadah (masjid),  tempat mengembangkan ajaran-ajaran Syi’ah dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam. Sebelumnya, masjid Al-Azhar bernama masjid Al-Qahirah atau Al-Jami’al-Qahirah, dan  sekarang dikenal dengan Al-Azhar. Pembangunan dimulai pada tanggal 4 April 970 M/24 Jumadil Ula 359 H dan selesai pada tanggal 7 Ramadhan 361 H/22 Juni 972 M, sekaligus diresmikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah. Peresmian itu ditandai dengan pelaksanaan salat Jumat bersama.
Tidak dapat diketahui dengan jelas, perubahan nama dari masjid Al-Qahirah menjadi masjid Al-Azhar. Sebagian para ahli, misalnya Saniyah Qura’ah berpendapat bahwa penamaan tersebut berawal dari usulan Ya’kub Ibnu Killis, seorang wazir Khalifah al-Aziz Billah. Penamaan yang diusulkan  dinisbatkan dengan nama istana Khalifah al-Qhusur  Al-Zahirah, atau dikaitkan dengan nama putri Nabi Muhammad Fatimah Al-Zahra. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penamaan tersebut dikaitkan dengan nama sebuah planet (Venus) yang memiliki cahaya cemerlang. Selain itu, Al-Azhar dinisbahkan kepada bunga, yang kemudian menjadi simbol dari ‘kemegahan’ peradaban muslim Kairo Apapun latar belakang penamaan tersebut, yang jelas menggambarkan harapan para pendirinya agar Masjid Al-Azhar  membawa cahaya terang dan kejayaan umat Islam yang dapat menyinari dunia. Harapan itu dapat disaksikan dalam perjalanan sejarah masjid ini, fungsinya terus digandakan, tidak lagi hanya sebagai tempat ibadah dan propaganda ajaran Syi’ah, tetapi berfungsi juga sebagai Madrasah Tinggi di Kairo, Mesir.
Setelah Al-Azhar resmi menjadi masjid Negara, kegiatan ilmiah pertama kali dilakukan dengan berkumpulnya para ulama, terdiri dari para fuqaha terkenal dan pejabat pemerintahan Fathimiyah  di  Al-Azhar untuk mendengarkan ceramah umum (Studium Generalle)  dari Abu al-Hasan Nu’man Ibnu Muhammad Al-Qirawaniy  sebagai  Qadi al-Qudat (Hakim Agung)  Dinasti Fathimiyah), terjadi pada bulan Oktober 975 M/ Shafar 365 H.


C. Al-Azhar Masa Dinasti Ayyubiah
Berakhirnya Dinasti Fatimiyyah yang bermadzhab Syi’ah dan berkuasanya Dinasti Ayyubiah yang bermadzhab Sunni, berdampak pada perkembangan sejarah al-Azhar. Sultan Shalahuddin mengeluarkan beberapa kebijaksanaan mengenai al-Azhar, diantaranya Al-Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk salat Jum’at dan kegiatan madrasah.  Alasannya karena Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah menjadi pusat pengembangan ajaran-ajaran  Syi’ah. Shalahuddin  juga menunjuk seorang Qadhi, Sadruddin Abdul Malik bin Darabas menjadi Qadhi tertinggi, yang berhak mengeluarkan fatwa-fatwa hukum mazhab Syafi’i. Diantara fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan salat Jumat di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas, selain itu dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah Jumat dalam satu kota yang sama.
Masjid Al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum’at dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Salahuddin berkuasa (1171-1267 M) sampai dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.
Meskipun demikian, penutupan Al-Azhar sebagai masjid dan madrasah pada masa Dinasti Ayyubiyah,tidak berarti kegiatan keagamaan dan pendidikan tidak berkembang. Shalahuddin memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan. Ia melakukan pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaann. Begitu juga mendirikan pendidikan tinggi (kulliyat) dan universitas. Kurang lebih 25 kulliyat didirikan pada masanya. Diantara kulliyat-kulliyat yang terkenal adalah Manazilull Izza, Al-Kulliyatul ‘Adiliyyah, Al-Kulliyatul Arsufiyah, Al-Kulliyatul Fadhiliyyah, Al-Kulliyatul Azkasyiyah dan Al-Kulliyatul ‘Asuriyah. Nama-nama kulliyat tersebut umumnya dinisbahkan kepada para pendirinya, sebagai pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.
Meski ada larangan untuk tidak menggunakan Al-Azhar sebagai pusat kegiatan madrasah, masjid tersebut  tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian dari mereka yang meninggalkan al-Azhar.  Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Aziz Imadudin Usman, putra Shalahudin Yusuf al-Ayyubi, tepatnya tahun 1193 M/589 H datang seorang ulama  bernama Abdul Latif al-Bagdadi dan mengajar di Al-Azhar selama Sultan al-Malikul Aziz berkuasa.  Materi yang diajarkan al-Baghdadi dimeliputi mantiq dan bayan. 
Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al- Asyuyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.
Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi mengajar hadits dan fiqh. Materi-materi itu diajarkan kapada para muridnya di pagi hari, sementara  dari siang hingga sore hari mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi, sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir
Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250 M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni sangat pesat, termasuk model dan sistem pendidikan yang dikembangkan  berorientasi Sunni. Maka dalam perjalanan sejarahnya, di masa Dinasti Ayyubiah,  Al-Azhar  menjadi masjid, lembaga pendidikan,  sekaligus pusat pengembangan ajaran-ajaran  Sunni.
Para penguasa dinasti Ayyubiyah, sebagai penguasa yang setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad, maka orientasi kebijaksanaan pemerintahannya adalah sebagaimana Baghdad, bermadzhab Sunni.  Oleh karena itu, salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran, penyebaran  dan pengembangan ajaran-ajaran mazhab Suni adalah Al-Azhar.

D. Ilmuwan Muslim Masa Ayyubiah
1. As-Suhrawardi al-Maqtul
Nama lengkapnya Abu Al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153 M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki banyak gelar  diantaranya, Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul.
Suhrawardi melakukan banyak perjalanan untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke Maragha, bdi kawasan Azerbaijan. Di kota ini, Suhrawardi belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd Al-Din Al-Jili. Juga memperdalam filsafat kepada  Fakhr  al-Din al-Mardini. Selanjutnya ke Isfahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada Zahir Al-Din Al-Qari. Juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan Al-Sawi. Dari Isfahan dilanjutkan ke Anatolia Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia, pusat lahirnya tokoh-tokoh sufi. Di sini Suhrawardi tertarik seorang sufi sekaligus filosof.
a. Ajaran Tarekat Suhrawardi
Dalam kitab Awarif al-Ma’arif  dibahas tentang latihan rohani praktis, terdiri dari:
1) Ma’rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah, bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak.
2) Faqr, yaitu tidak memiliki harta; seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke tujuan, kecuali jila sudah melewati tahap ke-zuhud-an.
3) Tawakkul, yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku Mutlak (Allah).
4) Mahabbah, artinya Cinta kepada Allah.
5) Fana’ dan Baqa’; Fana’ artinya akhir dari perjalanan menuju Allah, sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam Allah.

b. Pemikiran Teosofis Suhrawardi
Pemikiran teosofi Suhrawardi  disebut konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya.  Proses iluminasi cahaya-cahaya  Suhrawardi dapat diilustrasikan sebagai berikut: dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur Al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut  Nur Al-Aqrab. Selain Nur  Al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur Al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak.
Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur Al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masing-masing cahaya yang berada di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur Al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat suatu cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Karya-karya Suhrawardi diantaranya: kitab At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan Hikmah al-‘Ishraq yang membahas aliran paripatetik;  Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq yang membahas  filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami; Qissah al-Ghurbah al Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin’ ulasan penjelasan sufistik menggunakan lambang yang sulit dipahami dan,  Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq terjemahan dari filsafat klasik, dan Al-Waridat wa al-Taqdisat berisi serangkaian do’a, dan lain-lain.
2. Ibn Al-Adhim (588-660 H/ 1192- 1262 M)
      Nama lengkapnya, Kamaluddin Abu al Qosim Umar bin Ahmad bin Haibatullah bin Abi Jaradah Al Aqil, berasal dari bani Jaradah yang bermigrasi dari Bashrah ke Allepo karena wabah penyakit.  Al-Adhim lahir di Allepo, ayahnya menjadi Qadhi Madzhab Hanafi di kota itu. Sejak tahun 616 H/ 1219 M,    mulai mengajar di Allepo, setelah mendalami berbagai pengetahuan di Allepo, Baitul Maqdis, Damaskus, Hijaz dan Irak.
Kemudian menjadi Qadhi di Allepo pada zaman Amir Al- Aziz dan Al-Nashir dari dinasti Ayubiyah di Allepo, dan menjadi dubes kedua penguasa ini di Baghdad dan Kairo.
    Karya-karya Al-Adhim diantaranya,  Zubdah al hallab min tarikh Hallaba, Bughyah at Thalib fi Tharikh Halaba, tentang sejarah Allepo / Halaba yang disusun secara alfabetik  terdiri dari 40 juz atau 10 jilid.
Al-Adhim, melarikan diri ke Kairo hingga wafat, ketika tentara Mongol menguasai halaba/ Allepo pada tahun 658 H / 1160 M.

3. Al-Bushiri
Nama lengkapnya  Sarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah as Shanhaji al Bushiri,  lahir pada tahun 1212 M di Maroko. Al-Bushiri seorang sufi besar, pengikut Thariqat Syadziliyah, dan menjadi salah satu murid Sulthonul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily, r.a.   Gurunya yang lain beberapa ulama tasawuf seperti Abu Hayyan, Abu Fath bin Ya’mari dan Al ‘Iz bin Jama’ah al Kanani Al Hamawi.
Sejak masa kanak-kanak, dididik olek ayahnya sendiri dalam mempelajati Al-Qur’an untuk memperdalam ilmu agama dan kesusastraan Arab.
Al-Bushiri dikenal sebagai orang yang wara’ (takut dosa). Pernah suatu ketika ia akan diangkat menjadi pegawai pemerintahan kerajaan Mesir, akan tetapi melihat perilaku pegawai kerajaan membuatnya menolak.
Al-Bushiri  lebih menonjol dalam bidang sasra dengan hasil karyanya yang terkenal yaitu Kasidah Burdah yang diciptakannya pada abad 7 Hijrah dan dibaca dalam berbagai acara. Kasidah Burdah adalah mutiara syair kecintaan kepada Rasulullah.  Puisi Pujian Al-Bushiri kepada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi Nabi, tetapi mengungkap kelebihan Nabi yang utama yaitu mukjizat Al-Quran.
Beberapa ulama sufi yang menjadi guru Al-Bushiri, diantaranya, terutama pada bidang Imam Abu Hayyan, Abul Fath bin Sayyidunnas Al-Ya’mari Al Asybali Al Misri  pengarang kitab ‘Uyunul Atsar fi Sirah Sayyidil Basyar, Al ‘Iz bin Jama’ah Al Kanani Al Hamawi salah seorang hakim di Mesir, dan masih banyak lagi kalangan ulama besar Mesir yang memberikan ilmu pengetahuannya kepada Al-Bushiri.
Al Bushiri sebenamya tak hanya, terkenal dengan karya Burdahnya saja. la juga dikenal sebagai seorang ahli fikih, ilmu kalam dan ahli  tasawuf.

4. Abdul Latief Al Baghdadi. Seorang ulama berpengaruh yang menginspirasi ulama-ulama Al-Azhar lainnya, ahli ilmu mantiq, bayan,  Hadist, fiqh, ilmu kedokteran, dan ilmu-ilmu lainya, sekaligus sebagai tokoh berpengaruh dalam pengembangan dan penyebaran madzhab Sunni di Mesir.

5. Abu Abdullah Al Quda’i.  Ahli fiqih, hadis dan sejarah, beberapa karyanya adalah Asy Syihab (Bintang), Sanadus Sihah (Perawi Hadis-Hadis Sahih), Manaqib al Imam Asy Syafi’i (Budi Pekerti Imam Syafi’i), Anba’ Al Anbiya’ (Cerita Para Nabi), ‘Uyun al Ma‘arif (Mata Air Ilmu Pengetahuan), Al Mukhtar fiz Zikir al Khutat wa Al Asar (Buku Sejarah Mesir).

6. Abu Abdullah Muhammad Al-Idrisi. Seorang  ahli geografi dan juga ahli botani yang mencatat penelitiannya dalam buku Kitab Al-Jami’ li Asytat an-Nabat (Kitab kumpulan dan Tanaman).

7. Ad-Dawudi. Seorang  ahli botani,  pengarang kitab Nuzhah an-Nufus wa al- Afkar Ma’rifah wa al-Ahjar wa al-Asyjar (kitab komprehensif tentang Identifikasi Tanaman, Bebatuan, dan Pepohonan).

8. Syeikh Syams al-Din Ibn Khalikan, Seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan

9. Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Seorang ahli fiqih.

10. Al Hufi, ahli bahasa,

11. Abu Abdullah Muhammad bin Barakat, Seorang ahli Nahwu dan ahli tafsir.

Comments

Popular posts from this blog

JEJAK PERADABAN DINASTI AYYUBIAH

Khulafaurrosyidin Cermin Akhlaq Rasulullah

DINASTI BANI UMAYYAH PELOPOR KEMAJUAN PERADABAN ISLAM